Gen Z dan Masa Depan Hubungan Internasional: Diplomasi di Ruang Digital

by

Ahmad Hasan Fatih

Setiap lintas zaman akan selalu melahirkan aktor-aktor baru yang dapat mempengaruhi arah dunia. Jika pada abad ke-20 identik dengan para diplomat menggunakan setelan jas rapi dalam sebuah perundingan yang terlihat kaku pada meja bundar, maka pada abad ke-21 membawa warna yang berbeda: Generasi Z. Mereka adalah anak muda yang lahir antara pertengahan tahun 1990-an hingga awal tahun 2010-an–generasi yang sejak kecil sudah tidak asing dengan smartphone, media sosial, dan arus informasi tanpa batas. Kini, Gen Z mulai menapaki panggung hubungan internasional dengan cara pandang yang lebih inklusif dan kreatif.

Menurut Laporan UNESCO (2020), terdapat setidaknya 1,2 miliar jiwa populasi kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun di seluruh dunia, angka yang mencakup 16% dari populasi global. Di Indonesia sendiri, data BPS 2020 mencatat generasi Z mencapai 27,94% dari total penduduk, menjadikan mereka kelompok demografis terbesar. Angka ini bukan sekadar statistik, tapi kekuatan politik dan diplomasi yang tak bisa diabaikan.

Diplomasi Digital: Senjata Baru Anak Muda
Hari ini dunia telah bergeser: diplomasi tak hanya dimonopoli diplomat senior, tetapi juga anak muda yang aktif di media sosial, mulai dari kampanye lingkungan hingga advokasi perdamaian lintas batas.

António Guterres, Sekjen PBB, dalam pernyataan World Youth Day 2024 mengatakan: “Diplomasi masa depan bukan lagi hanya soal ruang pertemuan tertutup, tapi juga ruang digital di mana ide-ide lintas negara bertukar setiap detik.” Pernyataaan ini menyoroti sebuah pergeseran sifat diplomasi dari metode konvensional menjadi lebih inklusif dan cepat dalam platform digital.

Contoh paling nyata adalah isu Climate Change (perubahan iklim). Gerakan Fridays for Future (FFF) adalah gerakan protes iklim global yang digagas oleh aktivis lingkungan Swedia, Greta Thunberg. Memaksa para pemimpin dunia untuk segera merumuskan kebijakan iklim yang lebih ambisius. Aksi digital Gen Z, mulai dari petisi online, kampanye #ClimateAction, hingga protes virtual, menunjukkan bahwa diplomasi tak lagi harus menunggu sidang resmi. “Kami tidak bisa menunggu hingga tua untuk menyelamatkan bumi,” kata Greta dalam pidato di PBB, sebuah kalimat sederhana namun mengguncang.

Asia Tenggara dan Peran Pemuda
Pada tingkat regional, keterlibatan pemuda juga semakin terasa. Melalui Forum ASEAN Youth Interfaith Camp dan ASEAN Youth Forum, menjadikannya ruang bagi anak muda membahas perdamaian, kesetaraan gender, dan keamanan digital. Bahkan di Indonesia, melalui Kementerin Luar Negeri RI, pada tahun 2025 merilis program Indonesian Youth Diplomats yang mengirim perwakilan anak muda ke berbagai pertemuan internasional. Data menunjukkan pendaftar program tersebut meningkat 40% jika dibanding dengan tahun 2023—pertanda kuat bahwa minat diplomasi di kalangan Gen Z semakin menguat.

Generasi Z menunjukkan minat tersebut dengan suasana yang berbeda dan cara komunikasi yang lebih segar. Pada era ini mereka terbiasa berbicara dalam bahasa yang lugas, memanfaatkan platform seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) untuk menyampaikan pesan. Saat konflik Rusia-Ukraina memanas atau tragedi kemanusiaan di Gaza mencuat, narasi dan kampanye Gen Z sering kali lebih cepat menyebar daripada rilis resmi pemerintah. “Kecepatan adalah kekuatan, dan media sosial adalah senjata baru dalam diplomasi publik,” tulis analis hubungan internasional Joseph Nye dalam Foreign Affairs (2024).

Tantangan dalam Derasnya Arus Informasi
Meski potensi besar, Gen Z menghadapi tantangan cukup serius: banjir informasi dan disinformasi. Terlalu cepat dalam berbagi terkadang tak diimbangi ketelitian dalam memverifikasi fakta dan data. Kasus hoaks bisa saja menjadi api yang dapat memicu ketegangan global. Karena itu, literasi digital menjadi kunci utama agar diplomasi anak muda tidak memperkeruh situasi.

Selain itu, dunia diplomasi masih sarat hierarki. Tidak semua negara membuka sebuah ruang formal bagi pemuda dalam proses perundingan. Banyak anak muda yang harus puas hanya menjadi “penonton” dalam sidang internasional. Padahal, World Economic Forum 2025 menegaskan bahwa partisipasi generasi muda dalam kebijakan luar negeri dapat meningkatkan efektivitas solusi lintas negara hingga 30% lebih cepat, karena mereka lebih adaptif pada teknologi dan kolaborasi multikultural.

Peluang untuk Indonesia
Di Indonesia, peluang bagi generasi muda dalam keterlibatan diplomasi dunia mulai terbuka. Mantan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi beberapa kali menegaskan pentingnya “youth diplomacy” sebagai motor diplomasi Indonesia.

Program seperti Conference of Indonesian Youth Diplomats dan Model United Nations (MUN) menjadi sarana melatih keterampilan negosiasi dan pemahaman geopolitik sejak bangku perkuliahan. Keikutsertaan pemuda Indonesia dalam forum G20 Youth Summit dan COP Climate Conference juga membuktikan bahwa anak muda kita bukan sekadar penonton, melainkan pemain.

Menyiapkan Generasi Penentu
Lantas, apa yang harus dilakukan Gen Z agar benar-benar menjadi aktor penting dalam hubungan internasional?

Perkuat literasi global: Memahami isu-isu dunia—dari geopolitik, teknologi, hingga kemanusiaan—adalah syarat mutlak.

Gunakan teknologi secara strategis: Media sosial bisa menjadi panggung diplomasi publik yang efektif bila dikelola dengan etika dan data yang akurat.

Perluas jejaring lintas negara: Pertukaran pelajar, konferensi internasional, hingga komunitas daring adalah modal penting untuk membangun kepercayaan antarbangsa.

Generasi Z memiliki keunggulan yang tak dimiliki generasi sebelumnya: keberanian menantang status quo dan kemampuan menguasai dunia digital. Seperti kata Nelson Mandela, “Anak muda adalah pemimpin masa depan, tapi masa depan itu dimulai hari ini.”

Penutup: Dari Penonton Jadi Pemain
Hubungan internasional bukan lagi urusan para diplomat beruban putih. Dunia yang makin terkoneksi membutuhkan pemikiran segar, kreativitas, dan kecepatan aksi—hal tersebut yang justru menjadi identitas Gen Z. Mereka bukan sekadar generasi penerus, tetapi generasi penentu. Siapa tahu, perundingan perdamaian besar di masa depan mungkin akan dipimpin oleh seorang anak muda yang hari ini sedang mengunggah ide briliannya di TikTok.

Penulis: Ahmad Hasan Fatih, Pemimpin Redaksi Betang Voice, Alumni Tempo Institute

Ahmad Hasan Fatih

Ahmad Hasan Fatih