Kopi Pandan dan Ruang Rehat, Cerita di Sudut Jendela RTB Café

by

Ahmad Hasan Fatih

Kopi Pandan di Sudut Jendela. (Foto: Dok. Pribadi)

Sebuah kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak saya menjadi jurnalis: mencari tempat singgah setelah seharian berkeliling, mewawancarai, dan menembus informasi dari para narasumber. Tampaknya kebiasaan itu telah menjadi ritual kecil yang menyelamatkan kewarasan. Setelah berjam-jam mendengarkan banyak cerita dan bertemu dengan orang-orang, saya membutuhkan ruang untuk mendengar suara sendiri.

Akhir-akhir ini, saya sering melipir ke sebuah kafe kecil, sebut saja nama tempatnya RTB Café — tempat yang mungkin tak sepopuler kafe-kafe modern di pusat kota, seperti tempat para kelompok kalcer berkumpul. Tapi bagi saya, di sanalah (RTB) “tombol jeda” kehidupan berada.

Ketenangan di Sudut Jendela
RTB bukan kafe besar nan megah. Namun ada kehangatan di dalamnya, begitu masuk — kita akan dilayani dan disapa oleh baristanya. Sebuah sentuhan lembut yang menenangkan dan cukup untuk memulihkan energi setelah seharian banyak terkuras.

Di sudut dekat jendela, tempat favorit saya (karena ada stop kontak untuk charger tablet pad dan handphone), cahaya sore jatuh dengan lembut di atas meja kayu. Dari sana, saya bisa melihat jalan kota dengan lalu lintas yang tak terlalu bising. Kendaraan melintas, tapi suaranya tak sampai mengganggu. Justru memberi ritme bagi pikiran yang sedang mencari kalimat pertama untuk ditulis.

Seseorang pernah berkata “Setiap orang membawa dunia luar dan dunia dalam; keseimbangan di antaranya menentukan kedamaian.” Benar saja, saya telah menemukan kedamaian itu di sudut jendela.

Ruang Bernafas dari Riuhnya Lapangan
Sebagai ambivert, saya selalu bisa menyesuaikan diri—ramai ketika perlu, tapi diam ketika dunia mulai terasa terlalu bising. Namun, diam di rumah tak selalu cukup. Kadang saya butuh ruang netral, di mana saya tak harus berbicara tapi juga tak merasa sendirian.

Hari itu saya baru selesai meliput sebuah kegiatan di kantor pemerintahan. Dari pagi sampai sore, saya berpindah dari satu wawancara ke wawancara lain. Wajah harus tetap ramah, telinga selalu siaga, dan pikiran terus memproses kata demi kata agar tak kehilangan konteks.

Setelah semuanya usai, ada kelelahan yang tak bisa diukur hanya dengan jam kerja (karena memang kerja saya tidak memiliki jam pasti). Itu bukan sekadar lelah fisik, tapi lelah dari terlalu banyak bersosialisasi. Di saat itulah saya melangkah ke ruang dimana saya bisa bernafas dengan lega.

RTB Café adalah ruang itu. Tempat di mana saya bisa menulis tanpa tekanan, membaca catatan liputan, atau sekadar membiarkan pikiran melayang tanpa arah.

Kopi Pandan dan Ketenangan yang Terukur
Ada satu hal yang membuat saya senang. Sekarang, saya cukup memesan dengan kalimat “Seperti biasa kak”, baristanya pun mengangguk sambil tersenyum karena sudah hafal kebiasaan saya. Di dunia yang serba berubah, ada rasa bahagia tersendiri ketika seseorang masih mengingat pesananmu.

Satu Cup kopi pandan favorite datang di meja, warna cokelat muda, dengan aroma lembut yang menenangkan. Rasanya unik — ada keseimbangan antara rasa manis pandan dan sedikit pahit dari kopi. Saya menyeruputnya pelan. Rasanya seperti, tidak semua hal perlu tergesa-gesa.

Ketika saya mulai membuka tablet pad, biasanya, ide-ide mulai muncul di tempat seperti ini — bukan di tengah rapat redaksi atau saat mengejar narasumber, tapi justru di sela-sela kesendirian yang tenang. Di RTB, menulis terasa seperti berbicara dengan diri sendiri. Tak ada suara deadline, tak ada desakan untuk jadi yang tercepat. Hanya ada saya, kopi pandan, suara musik ringan, dan barista yang murah senyum.

Data United States Department of Agriculture (USDA) menunjukkan tren positif konsumsi kopi di Indonesia. Konsumsi kopi di Indonesia pada periode 2024/2025 diperkirakan meningkat sebesar 10.000 kantong. Dari 4,45 juta kantong pada periode 2020/2021 menjadi 4,8 juta kantong pada tahun ini, menurut laporan Kompas yang terbit Januari 2025.

Hal tersebut bukan hanya karena gaya hidup, tapi karena kafe kini menjadi “ruang sosial baru” bagi banyak orang — tempat mencari inspirasi, bekerja, bahkan menenangkan diri. Dan saya, salah satu dari sekian banyak orang yang menemukannya.

Ruang Sunyi di Dunia yang Bising
Kadang saya berpikir, mungkin beberapa orang butuh tempat seperti RTB. Tempat di mana kita bisa berhenti sejenak dari hiruk pikuk peran dan identitas. Sebagai jurnalis, saya terbiasa menceritakan kehidupan orang lain—perjuangan, harapan, konflik, kisah cinta, dan luka. Tapi di sini, saya belajar mendengarkan ulang cerita saya sendiri.

Seperti kata Albert Camus, “Di tengah musim dingin yang paling gelap, aku akhirnya belajar bahwa di dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.” Kalimat itu selalu saya ingat setiap kali duduk di sudut RTB. Di luar sana mungkin dunia gaduh, tapi di sini saya belajar menemukan “musim panas” kecil dalam diri.

Bagi sebagian orang, kafe mungkin hanya tempat nongkrong. Tapi bagi saya, RTB adalah ruang perenungan, semacam keseimbangan yang diciptakan. Tempat di mana saya bisa menjadi jurnalis sekaligus manusia yang butuh jeda sejenak dalam aktivitas.

Ritual yang Menjaga Kewarasan
Hari pun mulai gelap. Kopi saya tinggal setengah, tapi ide sudah memenuhi kepala. Di saat-saat seperti ini, saya merasa tak perlu banyak hal untuk bahagia—cukup suasana tenang, aroma pandan, dan kesempatan untuk menulis tanpa gangguan.

Seorang teman pernah bertanya, kenapa saya lebih suka duduk sendiri di kafe setelah liputan? Saya hanya menjawab, “Karena di sanalah saya menemukan kembali suara saya, setelah seharian mendengarkan suara orang lain.”

RTB mengajarkan saya bahwa rehat bukan berarti berhenti. Rehat justru bagian dari proses. Di tengah hiruk pikuk dunia yang menuntut kecepatan, ada nilai berharga dari melambat sejenak. Dari menikmati seteguk kopi pandan sambil menata ulang pikiran.

Menurut penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Personality and Individual Differences (2023), sekitar 30-50 persen populasi global memiliki sifat introvert, termasuk ambivert, yakni mereka yang bisa beradaptasi di situasi sosial, tapi tetap butuh waktu menyendiri untuk mengisi ulang energi. Angka ini mungkin menjelaskan kenapa tempat seperti RTB semakin dicari — bukan sekadar untuk nongkrong, tapi untuk “recharge mental”.

Menutup Hari dengan Ketenangan
Malam mulai datang. Lampu-lampu kecil di RTB menyala. Di layar tablet pad, paragraf demi paragraf mulai tersusun. Mungkin bukan tulisan terbaik saya, tapi cukup untuk mengingatkan bahwa menulis bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga proses mengenal diri sendiri.

Saya meneguk sisa kopi terakhir, mematikan tablet pad, dan menarik napas panjang. Di luar, dunia tetap berputar dengan riuhnya. Tapi saya tahu, setiap kali butuh tempat untuk kembali menata diri, RTB akan selalu ada, saya akan selalu punya tempat untuk pulang — bukan secara fisik, tapi secara batin.

Seperti ringkasan dari karya pemikiran Haruki Murakami, “Kau tidak bisa selalu bersembunyi dari dunia, tapi kau bisa menciptakan tempat kecil di mana dunia tak bisa menjangkaumu.” Dan bagi saya, tempat itu bernama RTB Café.

Penulis: Ahmad Hasan Fatih (Yoan Pramoga), Pemimpin Redaksi Betang Voice dan Alumni TEMPO Institute.

Ahmad Hasan Fatih

Ahmad Hasan Fatih